Jumat, 10 April 2009

PENERAPAN HUKUM ISLAM DALAM REFORMASI HUKUM NASIONAL (Upaya Membangun Wawasan Keilmuan dan Kesadaran Hukum)

Oleh : DR. H. Abd. Rahim Arsyad, M.A

I

Penegakan hukum, telah menjadi ungkapan sehari-hari dan bahkan akrab di kalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pers, pelaku berbagai disiplin atau profesi dan anggota masyarakat biasa. Terdapat kesamaan dari berbagai kalangan tersebut mengenai masalah penegakan hukum yang selama ini terjadi di negara kita bahwa hingga saat ini penegakan hukum belum memuaskan. Bahkan ada anggapan bahwa penegakan hukum masih jauh dari rasa keadilan. Tentu hal tersebut menimbulkan pertanyaan : Mengapa hal itu bisa terjadi di tengah-tengah kehidupan negara yang berdasar atas hukum? Pertanyaan tersebut muncul anatara lain karena didapati berbagai putusan pengadilan, dan/atau penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ternyata tidak mampu memberi atau memenuhi rasa keadilan pencari keadilan atau individu, dan masyarakat pada umumnya.

Kondisi tersebut memicu munculnya gagasan pemberlakuan sistem Hukum Islam yang dinilai mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, di samping sebagai bagian dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh penganutnya, sebagaimana perintah Allah SWT dalam al-Qur’an bahwa siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah kafir, munafiq, dan fasik. Q.S. al-Maaidah ayat 44, 45 dan 47.

Kendatipun ayat tersebut lebih eksplisit ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi atas dasar persamaan prinsip perlunya syari’at Tuhan dijalankan, maka ayat tersebut menjadi dasar bagi perlunya umat Islam menjalankan syari’at agamanya. Yang membedakan dan masih memerlukan diskusi panjang ialah bentuk atau cara pelaksnaannya, dan definisinya, serta batasan ruang lingkupnya yang akan kita tegakkan.

Berangkat dari kondisi tersebut, dan perintah wajib dari Allah SWT tersebut, wacana penerapan hukum Islam di Indonesia muncul ke permukaan sebagai bentuk alternatif hukum yang diharapkan memenuhi rasa keadilan masyarakat, yang dirasa terabaikan tadi oleh sistem hukum nasional. Sebagian orang mengklaim bahwa syariat datang dengan motif (‘illat) memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dari pandangan tersebut mereka mengambil kesimpulan ada lima kemaslahatan yang menjadi tujuan (maqasid) syariat, yaitu melindungi agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Menurut pandangan ini, tujuan-tujuan itu adalah motif (‘illat) bagi hukum-hukum syariat secara keseluruhan.

Apabila dilihat dari segi sejarahnya, Islam di Indonesia sebanarnya telah lama di anut dan dijalankan hukum-hukumnya oleh masyarakat Islam, karena kemuliaan tujuannya. Terlihat misalnya di beberapa daerah, seperti Aceh, Maluku dan Sulawesi Selatan mencoba menjadikan hukum Islam sebagai alternatif hukum mereka. Sehingga Perda-perda sebagai produk legislatif daerah, banyak yang bernuansa agama, juga munculnya organisasi keagamaan seperti KPPSI di Sul-Sel. Dan bahkan dalam perkembangan suasana politik di Indonesia akhir-akhir ini, pertai politik Islam memperoleh dukungan mayoritas dalam perhelatan politik di berbagai daerah. Hal inilah menjadi daya dorong untuk mengkaji: bagaimana wajah hukum nasional kita dan bagaimana sistem hukum Islam dalam masyarakat yang mayoritas Islam di Indonesia.

II

Pada bagian ini, ada baiknya penulis mengajak kita semua untuk menoleh kembali sejarah masuknya Islam di nusantara, sebelum pengkajian lebih jauh mengenai sistem hukum nasional dan bagaimana keududukan dan penerapan hukum Islam di Indonesia.

Menurut kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad I Hijriyah atau pada abad ke VII/VIII Masehi. Daerah yang pertama dimasuki adalah pesisir Sumatera dan kerajaan Islam pertama adalah di Samudera Pasai Aceh Utara.

Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada komposisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Kemudian Hukum Islam pada masa penjajahan, khususnya di masa penjajahan Belanda, Hukum Islam tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi Snouck Hurgronje, yang disebut Professor Hazairin sebagai “Teori Iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum Islam di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.

Menurut saya keengganan sebagian elit politik dan sebagian besar umat Islam Indonesia untuk memberlakukan hukum Islam, dipengaruhi oleh politik hukum Belanda, dan tidak difahaminya secara benar hukum Islam. Antara hukum Islam dan Syari’at Islam serta Fiqhi perlu dipahami secara benar oleh masyarakat Islam, sehingga tidak dipahami secara keliru dan menakutkan untuk dilaksanakan.

Dalam kajian Ushul Fiqih yang dimaksud hukum Islam adalah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Tuhan yang bersumber dari wahyu dan ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta.

Ajaran Islam yang terdapat dalam Ushul Fiqih dikenal dengan istilah dalil yang terdiri dari dua yaitu bersifat qath’i dan Zhanni. Oleh karena itu hukum Islam pun ada dua macam. Pertama, qath’i yaitu hukum Islam yang ditetapkan langsung oleh Tuhan. Hukum ini jumlahnya tidak banyak dan dalam perkembangannya dikenal dengan syariat. Kedua, Zhanni yaitu hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja. Hukum jenis ini jumlahnya banyak dan dalam perkembangannya dikenal dengan fiqih.

Hukum Islam kategori syariat bersifat tsabat (konstan, tetap), artinya berlaku universal disepanjang zaman, tidak mengenal perubahan, dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi lah yang harus menyesuaikan diri dengan syariat. Sedangkan hukum Islam kategori fiqih bersifat murunah (fleksibel, elastis), tidak harus berlaku universal, mengenal perubahan, serta dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Untuk menuangkan hukum Islam yang terdapat dalam Al-Quran baik yang bersifat Syariat ataupun Fiqih menjadi suatu bentuk perundang-undangan adalah perbuatan politik, karena itu tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Yang menjadi pertanyaan adalah politik yang bagaimana yang dapat meyakinkan masyarakat, khususnya pembuat Undang-undang bahwa norma-norma dalam Al-Quran itu apabila dituangkan dalam bentuk Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dapat memenuhi keadilan bagi setiap individu dan masyarakat.

Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah RI, dibuktikan dengan berlakunya UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 UU tersebut mengundangkan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya". Kemudian pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa Pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Umum/Negeri bagi yang lainnya.

Pasal 2 UU No.7/1989 Tentang Pengadilan Agama, mengundangkan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, khususnya bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam UU ini. Pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a. Perkawinan

b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. Wakaf dan Shadaqah.

Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam, telah ditetapkan oleh UU yang berlaku adalah Hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat hukum materialnya ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden No.1/1991 dan berlaku di seluruh Indonesia.

Kemudian dalam perkembangan hukum selanjutnya pada era reformasi pasca amandement UUD 1945, UU Tentang PA No. 7/1989 mengalami perubahan dengan disahkannya UU No.3/2006 Tentang Perubahan atas UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama. Kewenangan PA bertambah sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Islam, meliputi antara lain : "ekonomi Syari'ah" di samping kewenangan yang sudah ada sebelumnya.

Selain itu undang-undang yang memperkokoh Hukum Islam telah menjadi hukum positif adalah : UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang memberikan peluang lebih luas terhadap perbankan Syari’ah; UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; UU No.36 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Kemudian kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

III

Hukum Islam telah berlaku dan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, jauh sebelum diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, kendati pun masih terbatas pada masalah-masalah keperdataan tertentu saja. Maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Oleh karena itu untuk memenuhi keadilan hukum masyarakat, alternative solusinya adalah memberlakukan atau menuangkan hukum agamanya ke dalam pembangunan hukum Inonesia.

Hukum Islam memiliki peranan penting sebagai sumber primer dalam membangun hukum Nasional. Hal ini disebabkan adanya relevansi sosio-historis dalam konteks sosial kemayarakatan, sebagai satu kesatuan hukum yang mesti diterapkan di Indonesia. Reformasi hukum bukan lagi sebuah wacana, namun mesti ditindak lanjuti melalui penguatan perangkat-perangkat hukum di seluruh dimensi kehidupan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pendidikan, baik swasa maupun negeri.

Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.

Referensi

Daud Ali, Muhammad. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1984

Hamka Haq, Syariat Islam Wacana dan Penerapannya, Yayasan al Ahkam, Makassar, 2002.

Azizy, A. Qodri. “Hukum Islam sebagai Sumber Hukum Positif dalam Reformasi Hukum Nasional”, Mimbar Hukum, No.54 tahun XII 2001.

Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, 1983.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi., Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Wahyudi, Yudian. Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik, Nawesea, Yogyakarta, 2007.



[1] *) Makalah disampikan pada Seminar Nasional Jurusan Syariah STAIN Parepare “Wajah Hukum Indonesia: Upaa Pendidikan Menuju Masyarakat Berkesadaran Hukum” pada hari Senin, Tanggal 21 April 2008 di Baruga Pratistha Kota Parepare.

[2] **) Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare dan Dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Parepare.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar