Jumat, 10 April 2009

PENERAPAN HUKUM ISLAM DALAM REFORMASI HUKUM NASIONAL (Upaya Membangun Wawasan Keilmuan dan Kesadaran Hukum)

Oleh : DR. H. Abd. Rahim Arsyad, M.A

I

Penegakan hukum, telah menjadi ungkapan sehari-hari dan bahkan akrab di kalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pers, pelaku berbagai disiplin atau profesi dan anggota masyarakat biasa. Terdapat kesamaan dari berbagai kalangan tersebut mengenai masalah penegakan hukum yang selama ini terjadi di negara kita bahwa hingga saat ini penegakan hukum belum memuaskan. Bahkan ada anggapan bahwa penegakan hukum masih jauh dari rasa keadilan. Tentu hal tersebut menimbulkan pertanyaan : Mengapa hal itu bisa terjadi di tengah-tengah kehidupan negara yang berdasar atas hukum? Pertanyaan tersebut muncul anatara lain karena didapati berbagai putusan pengadilan, dan/atau penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ternyata tidak mampu memberi atau memenuhi rasa keadilan pencari keadilan atau individu, dan masyarakat pada umumnya.

Kondisi tersebut memicu munculnya gagasan pemberlakuan sistem Hukum Islam yang dinilai mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, di samping sebagai bagian dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh penganutnya, sebagaimana perintah Allah SWT dalam al-Qur’an bahwa siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah kafir, munafiq, dan fasik. Q.S. al-Maaidah ayat 44, 45 dan 47.

Kendatipun ayat tersebut lebih eksplisit ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi atas dasar persamaan prinsip perlunya syari’at Tuhan dijalankan, maka ayat tersebut menjadi dasar bagi perlunya umat Islam menjalankan syari’at agamanya. Yang membedakan dan masih memerlukan diskusi panjang ialah bentuk atau cara pelaksnaannya, dan definisinya, serta batasan ruang lingkupnya yang akan kita tegakkan.

Berangkat dari kondisi tersebut, dan perintah wajib dari Allah SWT tersebut, wacana penerapan hukum Islam di Indonesia muncul ke permukaan sebagai bentuk alternatif hukum yang diharapkan memenuhi rasa keadilan masyarakat, yang dirasa terabaikan tadi oleh sistem hukum nasional. Sebagian orang mengklaim bahwa syariat datang dengan motif (‘illat) memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dari pandangan tersebut mereka mengambil kesimpulan ada lima kemaslahatan yang menjadi tujuan (maqasid) syariat, yaitu melindungi agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Menurut pandangan ini, tujuan-tujuan itu adalah motif (‘illat) bagi hukum-hukum syariat secara keseluruhan.

Apabila dilihat dari segi sejarahnya, Islam di Indonesia sebanarnya telah lama di anut dan dijalankan hukum-hukumnya oleh masyarakat Islam, karena kemuliaan tujuannya. Terlihat misalnya di beberapa daerah, seperti Aceh, Maluku dan Sulawesi Selatan mencoba menjadikan hukum Islam sebagai alternatif hukum mereka. Sehingga Perda-perda sebagai produk legislatif daerah, banyak yang bernuansa agama, juga munculnya organisasi keagamaan seperti KPPSI di Sul-Sel. Dan bahkan dalam perkembangan suasana politik di Indonesia akhir-akhir ini, pertai politik Islam memperoleh dukungan mayoritas dalam perhelatan politik di berbagai daerah. Hal inilah menjadi daya dorong untuk mengkaji: bagaimana wajah hukum nasional kita dan bagaimana sistem hukum Islam dalam masyarakat yang mayoritas Islam di Indonesia.

II

Pada bagian ini, ada baiknya penulis mengajak kita semua untuk menoleh kembali sejarah masuknya Islam di nusantara, sebelum pengkajian lebih jauh mengenai sistem hukum nasional dan bagaimana keududukan dan penerapan hukum Islam di Indonesia.

Menurut kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad I Hijriyah atau pada abad ke VII/VIII Masehi. Daerah yang pertama dimasuki adalah pesisir Sumatera dan kerajaan Islam pertama adalah di Samudera Pasai Aceh Utara.

Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada komposisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Kemudian Hukum Islam pada masa penjajahan, khususnya di masa penjajahan Belanda, Hukum Islam tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi Snouck Hurgronje, yang disebut Professor Hazairin sebagai “Teori Iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum Islam di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.

Menurut saya keengganan sebagian elit politik dan sebagian besar umat Islam Indonesia untuk memberlakukan hukum Islam, dipengaruhi oleh politik hukum Belanda, dan tidak difahaminya secara benar hukum Islam. Antara hukum Islam dan Syari’at Islam serta Fiqhi perlu dipahami secara benar oleh masyarakat Islam, sehingga tidak dipahami secara keliru dan menakutkan untuk dilaksanakan.

Dalam kajian Ushul Fiqih yang dimaksud hukum Islam adalah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Tuhan yang bersumber dari wahyu dan ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta.

Ajaran Islam yang terdapat dalam Ushul Fiqih dikenal dengan istilah dalil yang terdiri dari dua yaitu bersifat qath’i dan Zhanni. Oleh karena itu hukum Islam pun ada dua macam. Pertama, qath’i yaitu hukum Islam yang ditetapkan langsung oleh Tuhan. Hukum ini jumlahnya tidak banyak dan dalam perkembangannya dikenal dengan syariat. Kedua, Zhanni yaitu hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja. Hukum jenis ini jumlahnya banyak dan dalam perkembangannya dikenal dengan fiqih.

Hukum Islam kategori syariat bersifat tsabat (konstan, tetap), artinya berlaku universal disepanjang zaman, tidak mengenal perubahan, dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi lah yang harus menyesuaikan diri dengan syariat. Sedangkan hukum Islam kategori fiqih bersifat murunah (fleksibel, elastis), tidak harus berlaku universal, mengenal perubahan, serta dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Untuk menuangkan hukum Islam yang terdapat dalam Al-Quran baik yang bersifat Syariat ataupun Fiqih menjadi suatu bentuk perundang-undangan adalah perbuatan politik, karena itu tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Yang menjadi pertanyaan adalah politik yang bagaimana yang dapat meyakinkan masyarakat, khususnya pembuat Undang-undang bahwa norma-norma dalam Al-Quran itu apabila dituangkan dalam bentuk Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dapat memenuhi keadilan bagi setiap individu dan masyarakat.

Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah RI, dibuktikan dengan berlakunya UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 UU tersebut mengundangkan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya". Kemudian pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa Pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Umum/Negeri bagi yang lainnya.

Pasal 2 UU No.7/1989 Tentang Pengadilan Agama, mengundangkan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, khususnya bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam UU ini. Pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a. Perkawinan

b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. Wakaf dan Shadaqah.

Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam, telah ditetapkan oleh UU yang berlaku adalah Hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat hukum materialnya ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden No.1/1991 dan berlaku di seluruh Indonesia.

Kemudian dalam perkembangan hukum selanjutnya pada era reformasi pasca amandement UUD 1945, UU Tentang PA No. 7/1989 mengalami perubahan dengan disahkannya UU No.3/2006 Tentang Perubahan atas UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama. Kewenangan PA bertambah sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Islam, meliputi antara lain : "ekonomi Syari'ah" di samping kewenangan yang sudah ada sebelumnya.

Selain itu undang-undang yang memperkokoh Hukum Islam telah menjadi hukum positif adalah : UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang memberikan peluang lebih luas terhadap perbankan Syari’ah; UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; UU No.36 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Kemudian kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

III

Hukum Islam telah berlaku dan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, jauh sebelum diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, kendati pun masih terbatas pada masalah-masalah keperdataan tertentu saja. Maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Oleh karena itu untuk memenuhi keadilan hukum masyarakat, alternative solusinya adalah memberlakukan atau menuangkan hukum agamanya ke dalam pembangunan hukum Inonesia.

Hukum Islam memiliki peranan penting sebagai sumber primer dalam membangun hukum Nasional. Hal ini disebabkan adanya relevansi sosio-historis dalam konteks sosial kemayarakatan, sebagai satu kesatuan hukum yang mesti diterapkan di Indonesia. Reformasi hukum bukan lagi sebuah wacana, namun mesti ditindak lanjuti melalui penguatan perangkat-perangkat hukum di seluruh dimensi kehidupan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pendidikan, baik swasa maupun negeri.

Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.

Referensi

Daud Ali, Muhammad. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1984

Hamka Haq, Syariat Islam Wacana dan Penerapannya, Yayasan al Ahkam, Makassar, 2002.

Azizy, A. Qodri. “Hukum Islam sebagai Sumber Hukum Positif dalam Reformasi Hukum Nasional”, Mimbar Hukum, No.54 tahun XII 2001.

Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, 1983.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi., Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Wahyudi, Yudian. Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik, Nawesea, Yogyakarta, 2007.



[1] *) Makalah disampikan pada Seminar Nasional Jurusan Syariah STAIN Parepare “Wajah Hukum Indonesia: Upaa Pendidikan Menuju Masyarakat Berkesadaran Hukum” pada hari Senin, Tanggal 21 April 2008 di Baruga Pratistha Kota Parepare.

[2] **) Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare dan Dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Parepare.

DAKWAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN SEBUAH KAJIAN TENTANG NILAI-NILAI DAKWAH DALAM AYAT 125 SURAH AN-NAHL

Abstraksi: Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang harus didakwakan kepada masyarakat melalui metode yang tepat agar dapat memahami dan mengamalkan isi kandungannya dengan cara yang benar. Dalam ayat 125 surah An-Nahl dalam Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai da’wah baik mengenai hukum da’wah, subjek dan objek da’wah,metode da’wah, maupun sikap dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap pemikir dan peraktisi dakwah (Da’i). Menyangkut masalah metode dakwah, dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga metode asasi yang disesuaikan dengan tingkat penerimaan manusia. Yaitu Bil Hikmah, Bil Mau’idhah Al-Hasanah dan Mujadalah dengan cara yang terbaik. Menyangkut masalah sikap dan sifat-sifat para Da’i yang professional, ialah sifat sabar, berbasar hati, lapang dada, optimisme dalam melakukan dakwah, dan menyerahkan kepada Allah SWT bahwa da’i itu hanya berusaha namun Allah yang maha mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang termasuk golongan yang terpetunjuk. Karena kenyataan membuktikan bahwa konsekuensi dakwah itu, menjadikan masyarakat terbagi kepada dua golongan, ada yang menolak tidak merespon sama sekali dakwah yang disampaikan kepadanya, dan ada pula yang menerima dan merespon baik dakwah itu.

Kata kunci : Nilai-nilai dakwah dalam ayat 125 surah al-Nahl.


I. Mukaddimah.


Predikat jahiliyah yang dikenakan pada masyarakat arab pada waktu itu tidaklah menunjukkan bahwa masyarakat arab pada waktu itu bodoh dan terbelakang dan bukan pula sebagai periodisasi sejarah yang mengawali era Islam. Karena itu jahiliyah merujuk pada kenyataan bahwa di kala itu masyarakat menyembah berhala yang dalam literatur barat dikenal sebagai paganisme.

Konotasi jahiliyah dapat dipahami sebagai karakter dan budaya masyarakat ketika nabi Muhammad SAW mengawali dakwahnya, keangkuhan, kesombongan dan keingkaran mereka tunjukkan untuk melawan Islam yang mengajak manusia untuk membebaskan manusia dari pada penghambaan sesamanya, dan tidak ada perhambaan kecuali hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Dengan kata lain bahwa jahiliyah adalah setiap konsep/ajaran yang mengekang dan memperbudak sesama manusia mengikuti aturan, nilai dan budaya yang dibuat oleh manusia itu sendiri bertentangan dengan ajaran Islam .

Islam adalah satu-satunya ajaran kehidupan yang membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia karena aturan, nilai, hukum dan ajarannya bukan dari manusia melainkan dari Allah swt yang menciptakan dan maha mengetahui kebutuhan makhluknya. Q. S. 67 : 14.

Apabila mereka tunduk dan taat maka ia hanya tunduk kepada penciptanya dan taat kepada aturan, hukum, perintah dan syari’at-Nya melalui pesan-pesan kitab suci-Nya yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW ialah kitab Al-Qur’an”

Aturan, hukum dan nilai-nilai yang dibawa Al-Qur’an merupakan ajaran yang harus dikuti dan dijalankan oleh setiap ummat Islam dari segala aspek kehidupannya karena ia adalah petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan benar Q. S. 17 : 9

Namun aturan dan nilai-nilai tersebut tidak mungkin dipahami dan diamalkan oleh manusia tanpa dida’wahkan dan disampaikan kepada mereka melalui metode dan media yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu Al-Qur’an al-karim sebagai kitab dakwah, adalah ruh dan motivasi, ramuan, eksitensi, dustur, dan konsepnya. Dengan kata lain bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber autentik dan referensi yang harus menjadi rujukan oleh setiap da’i baik metode, media maupun materi dakwah. Q. S. 16 ; 89.

Bagi setiap da’i harus membawa kitab dakwah ( Al-Qur’an ) dan menyampaikan kepada masyarakat sesuai dengan metode yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya itu agar dakwahnya diterima oleh manusia sehingga mereka dapat memahami dan mengamalkannya dengan benar untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan diturunkannya agama kepada manusia.

Oleh karena itu tulisan ini akan mengetengahkan pengertian, hukum dan metode dakwah dalam Al-Qur’an serta bagaimana semestinya sikap da’i. Konsep ini dikaji dengan menelaah nilai-nilai dakwah dalam Quran surah An-Nahl ayat 125.


II. PEMBAHASAN AYAT 125 SURAH AN-NAHL


"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”


A. PENGERTIAN DAKWAH DAN DASAR HUKUMNYA


Dakwah ditinjau dari segi etimologis, menurut Louis Ma’luf (1989:216), berasal dari bahasa arab : (دعا – يدعو ادع - دعوة - ( berarti: seruan, ajakan, doa atau panggilan. Kata dakwah merupakan isim masdar dari kata da’a (ajakan) Louis Ma’luf (1989:216). Menurut Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah (1992:207), dakwah diartikan sebagai “ajakan kepada Islam “. kata da’a dalam Al-Qur’an menurut Muhammad Fu’ad Abd.al-Baqi (1992:330), terulang sebanyak 5 kali, sedangkan kata yad’u terulang sebanyak 8 kali kata da’wah terulang sebanyak 4 kali, sedangkan kata ud’u (ajaklah) tanpa kata ganti terulang sebanyak 10 kali, Dakwah dalam artian mengajak ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 46 kali, Secara terminologi, setelah mendata seluruh kata dakwah, dapat didefinisikan dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan basyirah, sebagaimana firman Allah Q ; S; 12: 108.


Kata bashirah menunjukkan bahwa dakwah harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik, karena dakwah bukan saja menciptakan keshalehan pribadi tetapi juga menciptakan keshalehan sosial, untuk mewujudkan masyarakat yang shaleh tidak mungkin dilakukan tanpa bashirah, metode, media, dan materi dakwah yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dari sini dipahami bahwa dakwah adalah upaya membebaskan ummat manusia secara fundamental, yaitu aktualisasi teologis (iman yang dimanifestasikan dalam sistem kegiatan dalam bidang sosial kemasyarakatan).

Kondisi ini dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir dan bertindak pada dataran kenyataan individual dan sosial kultural dalam rangka mwujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan .


  1. DASAR HUKUM DAKWAH .


Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW dengan membawa ajaran Islam adalah Rahmatan Lil-‘Alamin, sehingga ajaran Islam dapat tersebar secara merata dalam masyrakat yang dimulai pada masa Rasulullah SAW. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan Tabi’in kemudian seterusnya dilanjutkan oleh generasi sampai sekarang ini. Islam tersebar ke berbagai wilayah dan diterima oleh manusia karena adanya aktivitas dakwah. Namun terkadang aktivitas dakwah tidak mendapat perhatian yang serius. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa dakwah itu adalah hukumnya wajib agar setiap muslim dapat menyadari tentang pentingnya dakwah itu, minimal ikut berpartisipasi dan memberi kontribusi terhadap aktivitas dakwah.

Kewajiban melaksanakan dakwah atas perintah Allah yang ditemukan dalam beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi antara lain : QS. An-Nahl (16) : 125, QS. Ali Imran (3) : 110, QS. Al-Taubah (9): 71 dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, para ulama sepakat menetapkan bahwa dakwah hukumnya wajib. Penetapan hukum ini diambil dari kalimat “ Ud’u “ dalam ayat ادع الى سبيل ربك dan kalimat “ wal-takun “ dalam ayat ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير yang berbentuk perintah (shigat amr), menunjukkan bahwa perintah berdakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah wajib (fardu). Hal ini sesuai dengan kaidah ushul yang berbunyi : الأصل فى الأمر للوجوب الا مادل الدليل على خلافه Abd.Hamid Hakim (1972 : 12),. Imam Al-Gazali sebagaimana dikutip Jamaluddin Al-Qasimiy menyatakan bahwa dakwah merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh ditawar lagi, sebab dengan menunjuk ayat tersebut diatas kebahagiaan manusia terkait dengan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Lihat Jamaluddin Al-Qasimi ( 1975 : h. 447),. Hanya saja para ulama berselisih pendapat tentang apakah kewajiban itu dibebankan kepada setiap individu muslim ( Fardu ‘ain ) atau kewajiban itu hanya dibebankan pada sekelompok orang saja dari umat islam secara keseluruhan (Fardu Kifayah). Perbedaan pandangan tersebut lahir dari cara memaknai kalimat dan kata minkum ( منكم ) dan ummatan ( أمة ) yang terdapat dalam redaksi ayat tersebut.

Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Zamakhsyariy, Al-Qurtubiydan Al-Gazaliy berpendapat bahwa kalimat minkum dalam ayat tersebut menunjukkan makna للتبعيض yang bermakna sebahagian sedangkan kata ummatan mengandung makna طائفة yang berarti golongan . Dengan demikian makna ayat diatas seakan berbunyi:ولتكن منكم طائفة مميزة بالدعوة والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر (Jadilah kamu kelompok khusus yang melaksanakan dakwah, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang munkar).

Pandangan mereka tersebut lahir dari argumen bahwa yang wajib berdakwah itu hanyalah mereka yang memiliki keahlian dalam mas’alah agama dan menghayati serta mengamalkan apa yang didakwahkan itu .Padahal tidak semua umat islam memiliki keriteria tersebut. Dengan demikian yang wajib berdakwah itu hanyalah orang-orang tertentu saja, yakni para ulama. jika mereka para ulama tersebut telah melaksanakan dakwah maka gugurlah kewajiban yang lain untuk berdakwah hal tersebut dapat dilihat dalam Abi Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshariy al-Qurtubiy, (t.th: 1047). Al-Zamakhsyary menambahkan (tth : 425), bahwa selain ahli dibidang keagamaan, seorang da’i harus pula memahami metode dan strategi dakwah. Sementara itu Ismail Haqqi (Tth:74), mempersamakan dakwah dengan jihad, yang mana jenis hukum berjihad tersebut adalah fardu kifayah.

Sementara itu, Muhammad Abduh dan Al-Razi menurut Muhammad Rasyid Ridha (t.th : 26), berpendapat bahwa kalimat waltakun ( ولتكن ) dalam Q. S: Ali Imran (3):104 diatas mengandung perintah wajib yang mutlak taa syarat yang mengikat, dan kata min yang mendahului kata kum dalam ayat itu menunjukkan ma’na li al-bayan (Penjelasan), bukan bermakna li al-tab’idh sebagaimana dikatakan oleh kelompok pertama tadi. Dengan demikian, kata ummatan diartikan dengan al-jamaah yang bermakna seluruhnya (manusia) sehingga ayat tersebut seakan berbunyi:


"Jadilah kamu ummat mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan kepada yang baik dan mencegah kemungkaran."


Rasyid Ridha yang merupakan murid Muhammad Abduh ternyata juga berpandangan bahwa memang perlu adanya sekelompok profesional yang dapat menjalankan dakwah secara baik. Keriteria kelompok dakwah yang perfessional dibidang dakwah tersebut antara lain memiliki ilmu yang sempurna dibidang dakwah, sejarah umum, ilmu jiwa, akhlaq, sosial politik, perbandingan mazhab dan retorika.

Rasyid Ridha (t.th: 26), membagi tugas dakwah kepada dua kategori, yaitu dakwah khusus dan dakwah umum. Dakwah khusus adalah ditujukan kepada masyrakat umum, hal inilah menjadi tugas bagi juru dakwah perofesional. kategori ini menurut Rasyid Ridha, sesuai dengan petunjuk Q.S. Al-Taubah (9) : 122 .


"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."


Adapun yang dimaksud dengan dakwah umum yaitu dakwah yang ditujukan Kepada pribadi, rumah tangga dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Karenanya Dalam melaksanakan dakwah secara umum ini tidak dituntut adanya keahlian khusus berdakwah. Dengan begitu, dakwah umum ini menunjukkan bahwa setiap individu muslim wajib mengambil peran sebagai da’i. Rasyid Ridha (t.th: 28), Maksudnya, setiap umat Islam berkewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dari paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum dakwah adalah wajib ‘ain. Namun kewajiban dakwah bagi setiap muslim tersebut hanyalah terbatas sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Islam tidak menuntut manusia di luar dari kemampuannya, sedangkan orang yang tidak mampu untuk berdakwah dengan berbagai sebab tidak terkena kewajiban ini sesuai dengan gugurnya kewajiban orang yang tidak mampu.

Dakwah Islam adalah dakwah yang benar dan harus melalui jalan yang benar. Jalan tersebut tidak mudah tanpa hambatan, tetapi banyak tantangan bahkan kesulitan, sehingga tidak semua orang mudah melewatinya kecuali orang-orang yang memiliki hati yang lapang dan besar serta kesabaran. Dengan kata lain menapaki jalan dakwah membutuhkan kecerdasan dalam berbagai dimensinya. Olehnya itu pesan Allah SWT kepada nabi-Nya agar menjalankan dakwah dengan penuh kesabaran Q. S. 46 : 35 .


" Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagimereka”


Oleh karena itu bagi da’i khususnya para muballig hendaknya mengikuti konsep lurus yang digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan yang telah dijalankan oleh nabi Muhammad SAW sebagai awwalu da’iyah fil Islam yang terbukti sukses. Konsep tersebut tersimpul dalam perintah tuhan kepada nabiNya sebagaimana tercantum pada ayat diatas. Konsep tersebut adalah konsep yang terdiri dari tiga asas yaitu Al-Hikmah, Al-Maw’idhat Al-hasanah, Al-Mujadalah Billatiy Hiya Ahsan ( Berdebat dengan cara yang terbaik ).

  1. Manhaj Al-Hikmah.

Kata hikmah ( الحكمة ) mempunyai banyak dilalah, menurut Ibnu Manzhur (t.th : 140- 143), dalam bahasa Arab lafdz tersebut mengandung banyak arti diantaranya: Al-‘Adlu (keadilan), Al-‘Ilmu (Pengetahuan), Al-hakam (kendali), Al-Nubuah (kenabian), Al-Qur’an, Al-Injil, Al-Sunnah, juga dinamakan Al-‘Illat (sebab dan illatnya) dikatakan Hikmat Al-Tasyri’ (حكمة التشريع) atau (وما لحكمة فى ذلك )

Para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda diantaranya Raghib Al-Ashfahany (t.th:127), menyatakan secara ringkas bahwa hikmah adalah sesuatu yang menemukan kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Thabathabai (berpendapat bahwa hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan dalam kamus Al-Bahru Al-Muhith Li-Abi Al-Hayyan (t.th :419), mengatakan bahwa hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan menemukan sesuatu dalam ucapan dan perbuatan. Ibnu Al-Katsir (t.th : 148), menafsirkan al-Hakim yang bijak dalam ucapan dan perbuatan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Juga hikmah berarti, yang paling utama dari segala sesuatu baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya madharrat yang besar atau lebih besar. Pakar tafsir Al-Biqa’i menurut Quraish Shihab (2000:387), menggaris bawahi bahwa al-hakim yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga ia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

Dari sejumlah pengertian dan definisi yang telah dikemukakan diatas memberi dilalah bahwa hikmah itu, mewujudkan sikap, ucapan dam perbuatan yang terbaik dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya agar mendatangkan mashlahat dan menghindari terjadinya madharrat. Namun apakah dilalah tersebut sudah itu yang dimaksud apabila kita melihat dari sudut pandang dakwah sebagaimana redaksi ayat.

4

Ayat ini turun di Mekkah disaat itu kota Mekkah dihuni oleh bangsa dan suku yang berbeda-beda latar belakang tabiat, budaya, pemikiran dan aqidah/aliran kepercayaan ada kafir musyrik, munafiq, penyembah berhala ada pula yang telah mempercayai ajaran Samawiyah (Ahlul kitab) Yahudi dan Nashara, ada juga golongan Hanif yang turun temurun mempercayai ajaran nabi Ibrahim.

Ibnu Rusydi sebagaimana dikutip Rajab al-Syitewi (1989:189), berkata tabiat manusia itu berbeda-beda ada yang menerima da’wah dengan dalil dan alasan yang rasional, ada juga yang menerima dakwah dengan nasehat dan peringatan ada pula mereka menerima dengan jadaliyah (debat) pada umumnya manusia dapat menerima dakwah ajaran agama melalui tiga cara tersebut oleh sebab itu turunlah ayat memerintahkan mengajak mereka ke jalan Allah.

Jadi metode dakwah bil-hikmah ((بالحكمة maksudnya melaksanakan dakwah menurut metode realitas, yaitu melakukan pengkajian dan analisa realitas terhadap masyarakat dengan mempelajari kondisi external dan internalnya tingkat intlektualitasnya, psykologinya, latar belakang tabiat dan budayanya, serta status ekonomi dan sosialnya. Kemudian membuat program yang tepat dan persiapan yang matang sebelum terjun memulai kegiatan dakwah kepada mereka.

Jadi yang dimaksud dengan bil hikmah dalam sudut pandang da’wah, ialah apa bila da’i baik kelompok maupun perorangan menjalankan konsep dan cara ini dengan penuh flexibel dan mampu memberikan diagnosa yang tepat kepada pasiennya dan mampu meletakkan dakwahnya sesuai apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.


  1. Manhaj Al-Maui’dhah Al-Hasanah.

Menurut Ibnu Manzdhur (t.th:191), kata mau’idhah ( الموعظة الحسنة ( berasal dari kata ( وعظ يعظ وعظة) yang berarti, nashehat-menasehati. Ia adalah merupakan metode lain yang dipergunakan oleh da’i untuk menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat yang memiliki hati yang lemah dan lunak. Oleh karena itu definisi mau’idhah ialah kata atau ucapan yang benar yang dapat melunakkan hati yang keras dan berpengaruh pada jiwa, kata-kata yang dapat mengekang dan mengendalikan gejolak jiwa yang liar serta meningkatkan kehalusan jiwa yang kasar dengan iman dan hidayah, dengan kata lain, Mau’izdhah ialah nashehat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang dapat melunakkan hati dan mendorong untuk beramal shaleh. Rajab Syitewy (t.th : 191).

Mau’idhah al-hasanah adalah metode dalam menyampaikan dakwah yang menarik tidak meliarkan, mendekatkan tidak menjauhkan memudahkan tidak menyulitkan karena ia masuk dalam hati dengan kasih dan halus sehingga dapat memberi petunjuk kepada hati yang keras dan liar. Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 53.


Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Dan surah Al-Fushshilat ayat 33


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa Mau’idhatul Hasanah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan apabila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak adalah yang buruk yang seharusnya dihindari .

Metode Mau’idhah Al-Hasanah mempunyai beberapa karakteristik antaralain

a. Halus redaksi dan lafalnya, dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

b. Beraneka macam bentuknya sehingga da’i dapat memilih bentuk yang paling sesuai kondisi dan situasinya.

c. Pengaruhnya besar pada jiwa pendengarnya. Hal ini nampak adanya penerimaan nashehat dan cepat direspon, juga menanamkan kecintaan dan kasih sayang pada hati masyarakat, di samping dapat melokalisir kemungkaran dan menghentikan penyebarannya dimana orang merasa malu apabila tidak menerima orang yang memberikan nashehat yang baik kepadanya sehingga minimal tidak menampakkan kemungkaran yang dilakukannya, dan lain-lain. Al-Bayanuny ( thn.2001 : 261).


3. Manhaj Al-Mujadalah.

Mujadalah berasal dari kata jadalah ( جادله, وجدالا, مجادلة) artinya perdebatan dan diskusi. Secara istilah dapat ditemukan dalam berbagai pendapat ulama antara lain:

a. Abul Fath Al-Bayanuni (2001 : 261), Diskusi/debat yang saling mengemukakan alasan untuk mengalahkan lawannya.

b. Quraish Shihab; upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis tanpa ada suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya.Iskandar(2007 : 56)

c. Sayyid Muhammad Tantawi ( 2001: 1), menyatakan bahwa al-Mujadalah adalah upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat dan meyakinkan.

Jadi al-mujadalah adalah metode dakwah dengan tukar pendapat/pikiran atau diskusi. Pada metode ini objek dakwah dapat menerima da’wah dengan perasaan mantap dan puas, karena melalui perdebatan (diskusi) yang memberikan kesempatan untuk bertanya jika ada hal-hal yang tidak dipahami atau kurang setuju dengan materi yang dikemukakan oleh da’i. Disisi lain metode ini memberi isyarat kepada da’i untuk menambah wawasan dalam segala segi sehingga dapat memberikan jawaban/bantahan kepada objek dakwah secara baik dan benar yang disertai dengan argumentasi dan bukti yang kuat serta meyakinkan.

Oleh karena itu para da’i sangat memerlukan metode ini khususnya pada masa kini dimana fitnah-fitnah bermunculan dan kerusuhan merajalela, khususnya munculnya berbagai macam aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan agama, sedangkan agama suci dan jauh dari padanya. Seperti Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Inkarussunnah, dua bahasa dalam shalat, komunitas Eden, Al-Qur’an suci, Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan lain-lain yang telah dinyatakan sesat oleh MUI dan dilarang oleh pemerintah. Di samping itu juga memang manusia tabiatnya suka berdebat/berdiskusi dimana manusia biasanya memunculkan debat dan tanya jawab disekitar materi yang dikemukakan kepadanya sebagaimana firman Allah Q.S 18:54


Dan Sesungguhnya kami Telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran Ini dengan bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.

Oleh karena itu da’i harus menguasai ilmu debat (علم اداب البحث والمناظرة ) dan kepada para da’i harus bersikap baik dan lapang dada terhadap lawan debatnya dengan sikap sebagai berikut :

1. Mendengarkan dengan baik pandangan lawannya.

2. Berusaha mengemukakan alasan/dalil yang mendukung pendapatnya tanpa ingin mengalahkan dan memenangkan perdebatan dengan cara kasar dan lain-lain :

a. Menyambut pendapat lawannya dengan akal sehat dan pikiran terbuka.

b. Tawaddhu’ sekalipun lawan debatnya mudah daripadanya dan kurang ilmunya.

d. Harus berpatokan pada ilmu debat bila diperlukan. Abd,Rahim Arsyad ( 2006 : 74).

Quraish Syihab (2000 : 388), dalam tafsirnya mengatakan, Penyebutan urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izah dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri dari dua macam, dan yang ketiga adalah jidal yang dapat terdiri dari tiga macam, buruk, baik dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad SAW, mengandung ketiga metode di atas. Ia diterapkan kepada siapapun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran.

Di atas telah dikemukakan bahwa sementara ulama membagi ketiga metode ini sesuai dengan tingkat kecerdasan sasaran dakwah yakni cendikiawan yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi diajak dengan hikmah. Adapun orang awam yang belum mencapai tingkat kesempurnaan akal, tidak juga terjerumus kedalam kebejatan moral, maka mereka disentuh dengan mau’izah, Sedang penganut agama lain dengan jidal. Pendapat ini tidak disepakati oleh para ulama. Bisa saja ketiga cara ini dipakai dalam satu situasi/sasaran, dikali lain hanya dua cara, atau satu masing-masing sesuai sasaran yang dihadapi. Bisa saja cendikiawan tersentuh oleh mau’izah dan tidak mustahil pula orang-orang awam memperoleh manfaat dari jidal dengan yang terbaik. Demikian Thabathaba’i, salah seorang ulama yang menolak penerapan metode dakwah itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran.

Thahir Ibn Asyur yang berpendapat serupa dan menyatakan bahwa jidal adalah bagian dari hikmah dan mau’izah. Hanya saja tulisnya karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pendapat, sehingga sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, maka kendati ia tidak terlepas dari hikmah atau mau’izah, ayat ini menyebutnya secara tersendiri berdampingan dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal itu.

Di samping mengandung metode dakwah, ayat tersebut juga mengandung sikap dan sifat-sifat yang harus dimiliki para da’i yaitu kesabaran, optimisme, berhati besar dan pengetahuan tentang responsi masyarakat, dimana biasanya terbagi daripada dua kelompok, ada kelompok yang tidak menerima dan tidak merespon apa yang disampaikan kepadanya dalam ayat ini dikategorikan bimandhallah ‘an sabilihi (بمن ضله عن سبيله ) adapula yang menerima dan merespon apa yang disampaikan kepadanya dan dapat menerima hidayah dalam ayat ini dikategorikan bil-muhtadin ( بالمهتدين).

Oleh karena itu da’i dalam menjalankan dakwahnya harus bersabar dan berhati besar, tidak cepat ingin melihat hasil dakwahnya dan ia hanya mengajak dan menyampaikan namun berhasil atau tidak ia harus menyerahkan kepada Allah SWT. Ayat ini berpesan agar da’i tidak berputus asah mendakwahi mereka dan selalu optimis dan sabar terhadap apa yang menimpanya baik dirinya maupun berhasil atau tidaknya daripada dakwahnya, itulah sebabnya dalam ayat ini dimulai dengan perintah lalu kemudian metode dalam melaksanakan perintah tersebut, lalu diakhiri dengan berhasil tidaknya bukan urusan da’i akan tetapi diserahkan kepada Allah SWT, karena hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapa yang sesat dan siapa orang yang menerima hidayah.



Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi[190]: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.


P E N U T U P

Dari uraian diatas dapat diambil beberapa pelajaran yang sangat penting dalam penafsiran khusunya nilai-nilai dakwah yang tekandung didalamnya antara lain: Bahwa dalam menjalankan dakwah hukumnya adalah wajib, karena ia adalah perintah

الاصل فى الامر الوجوب الا مادل الدليل على خلافه

Demikian juga menyampaikan/mengajak ummat manusia kejalan Allah adalah wajib dan tidak mungkin itu terlaksana tanpa didakwahkan. مالايتم الواجب الا به فهو واجب

Namun kewajiban dakwah tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Juga dalam ayat tersebut mengandung nilai-nilai dakwah khususnya mengenai metode dakwah dan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap da’i, hal tersebut telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw dan terbukti kesuksesannya sehingga dalam waktu yang relatif singkat nabi Muhammad saw mampu merobah masyarakat dari jahiliyah menjadi Islamiyah .Akhirnya kepada Allah saya berserah diri dan kepadanya meminta taufiq dan inayah

وما توفيقى الا بالله عليه توكلت واليه انيب . والحمد لله رب العالمين

DAFTAR PUSTAKA.

1. Al-Qur’anul Karim.

2. Abu Al-Fath Al-Bayanuniy, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Al-Da’wah, Muassah Al-Risalah Nasyirun, Beirut, tahun. 2001.

3. Abd. Rahim Arsyad, Al-Khithabah Baina Al-‘Ilmi Al-Nazhariy Wa Al-Fanni Al-Tathbiqiy, KUIM, Malaysia, cet. I . 2006.

4. Abu al-Fida al-Hafid Ibnu Katsir al-Dimisyqiy, Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim Kairo, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah , h. 1988.

5. Ibnu Al-Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Kairo, Dar Al-Ma’arif

6. Ragib Al-Ashfahaniy, Mufradat Al-Qur’an

7. Abu Al-Hayyan, Al-Bahru al-Muhith,

8. Qureisy syihab, Tafsir al-Mishbah , Cet. I, Jakarta , Lantera Hati, 2000.

9. Abd.Hamid Hakim, Al-Bayan, Juz III, Padang Panjang Al-Maktabah Al-Sa’diyah Putera. 1972.

10. Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lugah ( cet.XXXIX, Beirut, Dar Al-Masyriq 1989

11. Ensiklopedi Islam, Tim Penulis Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jambatan 1992

12. Muhammad Fu’ad Abd.Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Lialfadhi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut, Dar Al-Fikri, 1992.

13. Jalaluddin Al-Qasimy, Mau’izat Al-Mukmin Min Ihya Ulum Al-Din, diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomi dengan judul, Bimbingan untuk mencapai tingkat mukmin jld I Bandung, Dipanegoro, 1975.

14. Abi Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby Mesir, Al-Tsaqafah Al-Islamiyah.

15. Muhammad bin Umar Al-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kasysyaf, Mesir,’Isa Al-Halaby Wa Syurakauh.

16. Ismail Haqqy, Tafsir Ruh Al-Bayan Jld II, Beirut.

17. Muhammad Rasyid Ridha , Tafsir al-Manar , Beirut, Dar al-Ma’arif.

18. Rajab Al-Syitewy, Al-Khithabah Nazhariyan Wa ‘Ilmiyan, Cet I, Dar Al-Risalah Li Al-Turats. 1989.

19. Sayyid Muhammad Thanthawy, Adab Al-Hiwar Fi Al-Islam, Diterjemahkan oleh Zuhaeri dan Zamzami Kamal dengan Judul, Etika Debat dalam Islam Cet.I Jakarta : Azan, 2001. Iskandar, Peroblematika Dakwah dalam masyarakat Modern, Thesis, 2007.