Kata kunci : Nilai-nilai dakwah dalam ayat 125 surah al-Nahl.
I. Mukaddimah.
Predikat jahiliyah yang dikenakan pada masyarakat arab pada waktu itu tidaklah menunjukkan bahwa masyarakat arab pada waktu itu bodoh dan terbelakang dan bukan pula sebagai periodisasi sejarah yang mengawali era Islam. Karena itu jahiliyah merujuk pada kenyataan bahwa di kala itu masyarakat menyembah berhala yang dalam literatur barat dikenal sebagai paganisme.
Konotasi jahiliyah dapat dipahami sebagai karakter dan budaya masyarakat ketika nabi Muhammad SAW mengawali dakwahnya, keangkuhan, kesombongan dan keingkaran mereka tunjukkan untuk melawan Islam yang mengajak manusia untuk membebaskan manusia dari pada penghambaan sesamanya, dan tidak ada perhambaan kecuali hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Dengan kata lain bahwa jahiliyah adalah setiap konsep/ajaran yang mengekang dan memperbudak sesama manusia mengikuti aturan, nilai dan budaya yang dibuat oleh manusia itu sendiri bertentangan dengan ajaran Islam .
Islam adalah satu-satunya ajaran kehidupan yang membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia karena aturan, nilai, hukum dan ajarannya bukan dari manusia melainkan dari Allah swt yang menciptakan dan maha mengetahui kebutuhan makhluknya. Q. S. 67 : 14.
Apabila mereka tunduk dan taat maka ia hanya tunduk kepada penciptanya dan taat kepada aturan, hukum, perintah dan syari’at-Nya melalui pesan-pesan kitab suci-Nya yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW ialah kitab Al-Qur’an”
Aturan, hukum dan nilai-nilai yang dibawa Al-Qur’an merupakan ajaran yang harus dikuti dan dijalankan oleh setiap ummat Islam dari segala aspek kehidupannya karena ia adalah petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan benar Q. S. 17 : 9
Namun aturan dan nilai-nilai tersebut tidak mungkin dipahami dan diamalkan oleh manusia tanpa dida’wahkan dan disampaikan kepada mereka melalui metode dan media yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu Al-Qur’an al-karim sebagai kitab dakwah, adalah ruh dan motivasi, ramuan, eksitensi, dustur, dan konsepnya. Dengan kata lain bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber autentik dan referensi yang harus menjadi rujukan oleh setiap da’i baik metode, media maupun materi dakwah. Q. S. 16 ; 89.
Bagi setiap da’i harus membawa kitab dakwah ( Al-Qur’an ) dan menyampaikan kepada masyarakat sesuai dengan metode yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya itu agar dakwahnya diterima oleh manusia sehingga mereka dapat memahami dan mengamalkannya dengan benar untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan diturunkannya agama kepada manusia.
Oleh karena itu tulisan ini akan mengetengahkan pengertian, hukum dan metode dakwah dalam Al-Qur’an serta bagaimana semestinya sikap da’i. Konsep ini dikaji dengan menelaah nilai-nilai dakwah dalam Quran surah An-Nahl ayat 125.
II. PEMBAHASAN AYAT 125 SURAH AN-NAHL
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
A. PENGERTIAN DAKWAH DAN DASAR HUKUMNYA
Dakwah ditinjau dari segi etimologis, menurut Louis Ma’luf (1989:216), berasal dari bahasa arab : (دعا – يدعو ادع - دعوة - ( berarti: seruan, ajakan, doa atau panggilan. Kata dakwah merupakan isim masdar dari kata da’a (ajakan) Louis Ma’luf (1989:216). Menurut Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah (1992:207), dakwah diartikan sebagai “ajakan kepada Islam “. kata da’a dalam Al-Qur’an menurut Muhammad Fu’ad Abd.al-Baqi (1992:330), terulang sebanyak 5 kali, sedangkan kata yad’u terulang sebanyak 8 kali kata da’wah terulang sebanyak 4 kali, sedangkan kata ud’u (ajaklah) tanpa kata ganti terulang sebanyak 10 kali, Dakwah dalam artian mengajak ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 46 kali, Secara terminologi, setelah mendata seluruh kata dakwah, dapat didefinisikan dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan basyirah, sebagaimana firman Allah Q ; S; 12: 108.
Kata bashirah menunjukkan bahwa dakwah harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik, karena dakwah bukan saja menciptakan keshalehan pribadi tetapi juga menciptakan keshalehan sosial, untuk mewujudkan masyarakat yang shaleh tidak mungkin dilakukan tanpa bashirah, metode, media, dan materi dakwah yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dari sini dipahami bahwa dakwah adalah upaya membebaskan ummat manusia secara fundamental, yaitu aktualisasi teologis (iman yang dimanifestasikan dalam sistem kegiatan dalam bidang sosial kemasyarakatan).
Kondisi ini dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir dan bertindak pada dataran kenyataan individual dan sosial kultural dalam rangka mwujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan .
- DASAR HUKUM DAKWAH .
Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW dengan membawa ajaran Islam adalah Rahmatan Lil-‘Alamin, sehingga ajaran Islam dapat tersebar secara merata dalam masyrakat yang dimulai pada masa Rasulullah SAW. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan Tabi’in kemudian seterusnya dilanjutkan oleh generasi sampai sekarang ini. Islam tersebar ke berbagai wilayah dan diterima oleh manusia karena adanya aktivitas dakwah. Namun terkadang aktivitas dakwah tidak mendapat perhatian yang serius. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa dakwah itu adalah hukumnya wajib agar setiap muslim dapat menyadari tentang pentingnya dakwah itu, minimal ikut berpartisipasi dan memberi kontribusi terhadap aktivitas dakwah.
Kewajiban melaksanakan dakwah atas perintah Allah yang ditemukan dalam beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi antara lain : QS. An-Nahl (16) : 125, QS. Ali Imran (3) : 110, QS. Al-Taubah (9): 71 dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, para ulama sepakat menetapkan bahwa dakwah hukumnya wajib. Penetapan hukum ini diambil dari kalimat “ Ud’u “ dalam ayat ادع الى سبيل ربك dan kalimat “ wal-takun “ dalam ayat ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير yang berbentuk perintah (shigat amr), menunjukkan bahwa perintah berdakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah wajib (fardu). Hal ini sesuai dengan kaidah ushul yang berbunyi : الأصل فى الأمر للوجوب الا مادل الدليل على خلافه Abd.Hamid Hakim (1972 : 12),. Imam Al-Gazali sebagaimana dikutip Jamaluddin Al-Qasimiy menyatakan bahwa dakwah merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh ditawar lagi, sebab dengan menunjuk ayat tersebut diatas kebahagiaan manusia terkait dengan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Lihat Jamaluddin Al-Qasimi ( 1975 : h. 447),. Hanya saja para ulama berselisih pendapat tentang apakah kewajiban itu dibebankan kepada setiap individu muslim ( Fardu ‘ain ) atau kewajiban itu hanya dibebankan pada sekelompok orang saja dari umat islam secara keseluruhan (Fardu Kifayah). Perbedaan pandangan tersebut lahir dari cara memaknai kalimat dan kata minkum ( منكم ) dan ummatan ( أمة ) yang terdapat dalam redaksi ayat tersebut.
Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Zamakhsyariy, Al-Qurtubiydan Al-Gazaliy berpendapat bahwa kalimat minkum dalam ayat tersebut menunjukkan makna للتبعيض yang bermakna sebahagian sedangkan kata ummatan mengandung makna طائفة yang berarti golongan . Dengan demikian makna ayat diatas seakan berbunyi:ولتكن منكم طائفة مميزة بالدعوة والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر (Jadilah kamu kelompok khusus yang melaksanakan dakwah, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang munkar).
Pandangan mereka tersebut lahir dari argumen bahwa yang wajib berdakwah itu hanyalah mereka yang memiliki keahlian dalam mas’alah agama dan menghayati serta mengamalkan apa yang didakwahkan itu .Padahal tidak semua umat islam memiliki keriteria tersebut. Dengan demikian yang wajib berdakwah itu hanyalah orang-orang tertentu saja, yakni para ulama. jika mereka para ulama tersebut telah melaksanakan dakwah maka gugurlah kewajiban yang lain untuk berdakwah hal tersebut dapat dilihat dalam Abi Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshariy al-Qurtubiy, (t.th: 1047). Al-Zamakhsyary menambahkan (tth : 425), bahwa selain ahli dibidang keagamaan, seorang da’i harus pula memahami metode dan strategi dakwah. Sementara itu Ismail Haqqi (Tth:74), mempersamakan dakwah dengan jihad, yang mana jenis hukum berjihad tersebut adalah fardu kifayah.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan Al-Razi menurut Muhammad Rasyid Ridha (t.th : 26), berpendapat bahwa kalimat waltakun ( ولتكن ) dalam Q. S: Ali Imran (3):104 diatas mengandung perintah wajib yang mutlak taa syarat yang mengikat, dan kata min yang mendahului kata kum dalam ayat itu menunjukkan ma’na li al-bayan (Penjelasan), bukan bermakna li al-tab’idh sebagaimana dikatakan oleh kelompok pertama tadi. Dengan demikian, kata ummatan diartikan dengan al-jamaah yang bermakna seluruhnya (manusia) sehingga ayat tersebut seakan berbunyi:
"Jadilah kamu ummat mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan kepada yang baik dan mencegah kemungkaran."
Rasyid Ridha yang merupakan murid Muhammad Abduh ternyata juga berpandangan bahwa memang perlu adanya sekelompok profesional yang dapat menjalankan dakwah secara baik. Keriteria kelompok dakwah yang perfessional dibidang dakwah tersebut antara lain memiliki ilmu yang sempurna dibidang dakwah, sejarah umum, ilmu jiwa, akhlaq, sosial politik, perbandingan mazhab dan retorika.
Rasyid Ridha (t.th: 26), membagi tugas dakwah kepada dua kategori, yaitu dakwah khusus dan dakwah umum. Dakwah khusus adalah ditujukan kepada masyrakat umum, hal inilah menjadi tugas bagi juru dakwah perofesional. kategori ini menurut Rasyid Ridha, sesuai dengan petunjuk Q.S. Al-Taubah (9) : 122 .
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
Adapun yang dimaksud dengan dakwah umum yaitu dakwah yang ditujukan Kepada pribadi, rumah tangga dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Karenanya Dalam melaksanakan dakwah secara umum ini tidak dituntut adanya keahlian khusus berdakwah. Dengan begitu, dakwah umum ini menunjukkan bahwa setiap individu muslim wajib mengambil peran sebagai da’i. Rasyid Ridha (t.th: 28), Maksudnya, setiap umat Islam berkewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dari paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum dakwah adalah wajib ‘ain. Namun kewajiban dakwah bagi setiap muslim tersebut hanyalah terbatas sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Islam tidak menuntut manusia di luar dari kemampuannya, sedangkan orang yang tidak mampu untuk berdakwah dengan berbagai sebab tidak terkena kewajiban ini sesuai dengan gugurnya kewajiban orang yang tidak mampu.
Dakwah Islam adalah dakwah yang benar dan harus melalui jalan yang benar. Jalan tersebut tidak mudah tanpa hambatan, tetapi banyak tantangan bahkan kesulitan, sehingga tidak semua orang mudah melewatinya kecuali orang-orang yang memiliki hati yang lapang dan besar serta kesabaran. Dengan kata lain menapaki jalan dakwah membutuhkan kecerdasan dalam berbagai dimensinya. Olehnya itu pesan Allah SWT kepada nabi-Nya agar menjalankan dakwah dengan penuh kesabaran Q. S. 46 : 35 .
" Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagimereka”
Oleh karena itu bagi da’i khususnya para muballig hendaknya mengikuti konsep lurus yang digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan yang telah dijalankan oleh nabi Muhammad SAW sebagai awwalu da’iyah fil Islam yang terbukti sukses. Konsep tersebut tersimpul dalam perintah tuhan kepada nabiNya sebagaimana tercantum pada ayat diatas. Konsep tersebut adalah konsep yang terdiri dari tiga asas yaitu Al-Hikmah, Al-Maw’idhat Al-hasanah, Al-Mujadalah Billatiy Hiya Ahsan ( Berdebat dengan cara yang terbaik ).
- Manhaj Al-Hikmah.
Kata hikmah ( الحكمة ) mempunyai banyak dilalah, menurut Ibnu Manzhur (t.th : 140- 143), dalam bahasa Arab lafdz tersebut mengandung banyak arti diantaranya: Al-‘Adlu (keadilan), Al-‘Ilmu (Pengetahuan), Al-hakam (kendali), Al-Nubuah (kenabian), Al-Qur’an, Al-Injil, Al-Sunnah, juga dinamakan Al-‘Illat (sebab dan illatnya) dikatakan Hikmat Al-Tasyri’ (حكمة التشريع) atau (وما لحكمة فى ذلك )
Para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda diantaranya Raghib Al-Ashfahany (t.th:127), menyatakan secara ringkas bahwa hikmah adalah sesuatu yang menemukan kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Thabathabai (berpendapat bahwa hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan dalam kamus Al-Bahru Al-Muhith Li-Abi Al-Hayyan (t.th :419), mengatakan bahwa hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan menemukan sesuatu dalam ucapan dan perbuatan. Ibnu Al-Katsir (t.th : 148), menafsirkan al-Hakim yang bijak dalam ucapan dan perbuatan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Juga hikmah berarti, yang paling utama dari segala sesuatu baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya madharrat yang besar atau lebih besar. Pakar tafsir Al-Biqa’i menurut Quraish Shihab (2000:387), menggaris bawahi bahwa al-hakim yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga ia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.
Dari sejumlah pengertian dan definisi yang telah dikemukakan diatas memberi dilalah bahwa hikmah itu, mewujudkan sikap, ucapan dam perbuatan yang terbaik dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya agar mendatangkan mashlahat dan menghindari terjadinya madharrat. Namun apakah dilalah tersebut sudah itu yang dimaksud apabila kita melihat dari sudut pandang dakwah sebagaimana redaksi ayat.
4
Ayat ini turun di Mekkah disaat itu kota Mekkah dihuni oleh bangsa dan suku yang berbeda-beda latar belakang tabiat, budaya, pemikiran dan aqidah/aliran kepercayaan ada kafir musyrik, munafiq, penyembah berhala ada pula yang telah mempercayai ajaran Samawiyah (Ahlul kitab) Yahudi dan Nashara, ada juga golongan Hanif yang turun temurun mempercayai ajaran nabi Ibrahim.
Ibnu Rusydi sebagaimana dikutip Rajab al-Syitewi (1989:189), berkata tabiat manusia itu berbeda-beda ada yang menerima da’wah dengan dalil dan alasan yang rasional, ada juga yang menerima dakwah dengan nasehat dan peringatan ada pula mereka menerima dengan jadaliyah (debat) pada umumnya manusia dapat menerima dakwah ajaran agama melalui tiga cara tersebut oleh sebab itu turunlah ayat memerintahkan mengajak mereka ke jalan Allah.
Jadi metode dakwah bil-hikmah ((بالحكمة maksudnya melaksanakan dakwah menurut metode realitas, yaitu melakukan pengkajian dan analisa realitas terhadap masyarakat dengan mempelajari kondisi external dan internalnya tingkat intlektualitasnya, psykologinya, latar belakang tabiat dan budayanya, serta status ekonomi dan sosialnya. Kemudian membuat program yang tepat dan persiapan yang matang sebelum terjun memulai kegiatan dakwah kepada mereka.
Jadi yang dimaksud dengan bil hikmah dalam sudut pandang da’wah, ialah apa bila da’i baik kelompok maupun perorangan menjalankan konsep dan cara ini dengan penuh flexibel dan mampu memberikan diagnosa yang tepat kepada pasiennya dan mampu meletakkan dakwahnya sesuai apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
- Manhaj Al-Maui’dhah Al-Hasanah.
Menurut Ibnu Manzdhur (t.th:191), kata mau’idhah ( الموعظة الحسنة ( berasal dari kata ( وعظ يعظ وعظة) yang berarti, nashehat-menasehati. Ia adalah merupakan metode lain yang dipergunakan oleh da’i untuk menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat yang memiliki hati yang lemah dan lunak. Oleh karena itu definisi mau’idhah ialah kata atau ucapan yang benar yang dapat melunakkan hati yang keras dan berpengaruh pada jiwa, kata-kata yang dapat mengekang dan mengendalikan gejolak jiwa yang liar serta meningkatkan kehalusan jiwa yang kasar dengan iman dan hidayah, dengan kata lain, Mau’izdhah ialah nashehat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang dapat melunakkan hati dan mendorong untuk beramal shaleh. Rajab Syitewy (t.th : 191).
Mau’idhah al-hasanah adalah metode dalam menyampaikan dakwah yang menarik tidak meliarkan, mendekatkan tidak menjauhkan memudahkan tidak menyulitkan karena ia masuk dalam hati dengan kasih dan halus sehingga dapat memberi petunjuk kepada hati yang keras dan liar. Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 53.
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
Dan surah Al-Fushshilat ayat 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa Mau’idhatul Hasanah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan apabila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak adalah yang buruk yang seharusnya dihindari .
Metode Mau’idhah Al-Hasanah mempunyai beberapa karakteristik antaralain
a. Halus redaksi dan lafalnya, dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
b. Beraneka macam bentuknya sehingga da’i dapat memilih bentuk yang paling sesuai kondisi dan situasinya.
c. Pengaruhnya besar pada jiwa pendengarnya. Hal ini nampak adanya penerimaan nashehat dan cepat direspon, juga menanamkan kecintaan dan kasih sayang pada hati masyarakat, di samping dapat melokalisir kemungkaran dan menghentikan penyebarannya dimana orang merasa malu apabila tidak menerima orang yang memberikan nashehat yang baik kepadanya sehingga minimal tidak menampakkan kemungkaran yang dilakukannya, dan lain-lain. Al-Bayanuny ( thn.2001 : 261).
3. Manhaj Al-Mujadalah.
Mujadalah berasal dari kata jadalah ( جادله, وجدالا, مجادلة) artinya perdebatan dan diskusi. Secara istilah dapat ditemukan dalam berbagai pendapat ulama antara lain:
a. Abul Fath Al-Bayanuni (2001 : 261), Diskusi/debat yang saling mengemukakan alasan untuk mengalahkan lawannya.
b. Quraish Shihab; upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis tanpa ada suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya.Iskandar(2007 : 56)
c. Sayyid Muhammad Tantawi ( 2001: 1), menyatakan bahwa al-Mujadalah adalah upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat dan meyakinkan.
Jadi al-mujadalah adalah metode dakwah dengan tukar pendapat/pikiran atau diskusi. Pada metode ini objek dakwah dapat menerima da’wah dengan perasaan mantap dan puas, karena melalui perdebatan (diskusi) yang memberikan kesempatan untuk bertanya jika ada hal-hal yang tidak dipahami atau kurang setuju dengan materi yang dikemukakan oleh da’i. Disisi lain metode ini memberi isyarat kepada da’i untuk menambah wawasan dalam segala segi sehingga dapat memberikan jawaban/bantahan kepada objek dakwah secara baik dan benar yang disertai dengan argumentasi dan bukti yang kuat serta meyakinkan.
Oleh karena itu para da’i sangat memerlukan metode ini khususnya pada masa kini dimana fitnah-fitnah bermunculan dan kerusuhan merajalela, khususnya munculnya berbagai macam aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan agama, sedangkan agama suci dan jauh dari padanya. Seperti Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Inkarussunnah, dua bahasa dalam shalat, komunitas Eden, Al-Qur’an suci, Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan lain-lain yang telah dinyatakan sesat oleh MUI dan dilarang oleh pemerintah. Di samping itu juga memang manusia tabiatnya suka berdebat/berdiskusi dimana manusia biasanya memunculkan debat dan tanya jawab disekitar materi yang dikemukakan kepadanya sebagaimana firman Allah Q.S 18:54
Dan Sesungguhnya kami Telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran Ini dengan bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Oleh karena itu da’i harus menguasai ilmu debat (علم اداب البحث والمناظرة ) dan kepada para da’i harus bersikap baik dan lapang dada terhadap lawan debatnya dengan sikap sebagai berikut :
1. Mendengarkan dengan baik pandangan lawannya.
2. Berusaha mengemukakan alasan/dalil yang mendukung pendapatnya tanpa ingin mengalahkan dan memenangkan perdebatan dengan cara kasar dan lain-lain :
a. Menyambut pendapat lawannya dengan akal sehat dan pikiran terbuka.
b. Tawaddhu’ sekalipun lawan debatnya mudah daripadanya dan kurang ilmunya.
d. Harus berpatokan pada ilmu debat bila diperlukan. Abd,Rahim Arsyad ( 2006 : 74).
Quraish Syihab (2000 : 388), dalam tafsirnya mengatakan, Penyebutan urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izah dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri dari dua macam, dan yang ketiga adalah jidal yang dapat terdiri dari tiga macam, buruk, baik dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad SAW, mengandung ketiga metode di atas. Ia diterapkan kepada siapapun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran.
Di atas telah dikemukakan bahwa sementara ulama membagi ketiga metode ini sesuai dengan tingkat kecerdasan sasaran dakwah yakni cendikiawan yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi diajak dengan hikmah. Adapun orang awam yang belum mencapai tingkat kesempurnaan akal, tidak juga terjerumus kedalam kebejatan moral, maka mereka disentuh dengan mau’izah, Sedang penganut agama lain dengan jidal. Pendapat ini tidak disepakati oleh para ulama. Bisa saja ketiga cara ini dipakai dalam satu situasi/sasaran, dikali lain hanya dua cara, atau satu masing-masing sesuai sasaran yang dihadapi. Bisa saja cendikiawan tersentuh oleh mau’izah dan tidak mustahil pula orang-orang awam memperoleh manfaat dari jidal dengan yang terbaik. Demikian Thabathaba’i, salah seorang ulama yang menolak penerapan metode dakwah itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran.
Thahir Ibn Asyur yang berpendapat serupa dan menyatakan bahwa jidal adalah bagian dari hikmah dan mau’izah. Hanya saja tulisnya karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pendapat, sehingga sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, maka kendati ia tidak terlepas dari hikmah atau mau’izah, ayat ini menyebutnya secara tersendiri berdampingan dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal itu.
Di samping mengandung metode dakwah, ayat tersebut juga mengandung sikap dan sifat-sifat yang harus dimiliki para da’i yaitu kesabaran, optimisme, berhati besar dan pengetahuan tentang responsi masyarakat, dimana biasanya terbagi daripada dua kelompok, ada kelompok yang tidak menerima dan tidak merespon apa yang disampaikan kepadanya dalam ayat ini dikategorikan bimandhallah ‘an sabilihi (بمن ضله عن سبيله ) adapula yang menerima dan merespon apa yang disampaikan kepadanya dan dapat menerima hidayah dalam ayat ini dikategorikan bil-muhtadin ( بالمهتدين).
Oleh karena itu da’i dalam menjalankan dakwahnya harus bersabar dan berhati besar, tidak cepat ingin melihat hasil dakwahnya dan ia hanya mengajak dan menyampaikan namun berhasil atau tidak ia harus menyerahkan kepada Allah SWT. Ayat ini berpesan agar da’i tidak berputus asah mendakwahi mereka dan selalu optimis dan sabar terhadap apa yang menimpanya baik dirinya maupun berhasil atau tidaknya daripada dakwahnya, itulah sebabnya dalam ayat ini dimulai dengan perintah lalu kemudian metode dalam melaksanakan perintah tersebut, lalu diakhiri dengan berhasil tidaknya bukan urusan da’i akan tetapi diserahkan kepada Allah SWT, karena hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapa yang sesat dan siapa orang yang menerima hidayah.
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi[190]: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
P E N U T U P
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa pelajaran yang sangat penting dalam penafsiran khusunya nilai-nilai dakwah yang tekandung didalamnya antara lain: Bahwa dalam menjalankan dakwah hukumnya adalah wajib, karena ia adalah perintah
الاصل فى الامر الوجوب الا مادل الدليل على خلافه
Demikian juga menyampaikan/mengajak ummat manusia kejalan Allah adalah wajib dan tidak mungkin itu terlaksana tanpa didakwahkan. مالايتم الواجب الا به فهو واجب
Namun kewajiban dakwah tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Juga dalam ayat tersebut mengandung nilai-nilai dakwah khususnya mengenai metode dakwah dan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap da’i, hal tersebut telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw dan terbukti kesuksesannya sehingga dalam waktu yang relatif singkat nabi Muhammad saw mampu merobah masyarakat dari jahiliyah menjadi Islamiyah .Akhirnya kepada Allah saya berserah diri dan kepadanya meminta taufiq dan inayah
وما توفيقى الا بالله عليه توكلت واليه انيب . والحمد لله رب العالمين
DAFTAR PUSTAKA.
1. Al-Qur’anul Karim.
2. Abu Al-Fath Al-Bayanuniy, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Al-Da’wah, Muassah Al-Risalah Nasyirun, Beirut, tahun. 2001.
3. Abd. Rahim Arsyad, Al-Khithabah Baina Al-‘Ilmi Al-Nazhariy Wa Al-Fanni Al-Tathbiqiy, KUIM, Malaysia, cet. I . 2006.
4. Abu al-Fida al-Hafid Ibnu Katsir al-Dimisyqiy, Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim Kairo, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah , h. 1988.
5. Ibnu Al-Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Kairo, Dar Al-Ma’arif
6. Ragib Al-Ashfahaniy, Mufradat Al-Qur’an
7. Abu Al-Hayyan, Al-Bahru al-Muhith,
8. Qureisy syihab, Tafsir al-Mishbah , Cet. I, Jakarta , Lantera Hati, 2000.
9. Abd.Hamid Hakim, Al-Bayan, Juz III, Padang Panjang Al-Maktabah Al-Sa’diyah Putera. 1972.
10. Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lugah ( cet.XXXIX, Beirut, Dar Al-Masyriq 1989
11. Ensiklopedi Islam, Tim Penulis Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jambatan 1992
12. Muhammad Fu’ad Abd.Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Lialfadhi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut, Dar Al-Fikri, 1992.
13. Jalaluddin Al-Qasimy, Mau’izat Al-Mukmin Min Ihya Ulum Al-Din, diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomi dengan judul, Bimbingan untuk mencapai tingkat mukmin jld I Bandung, Dipanegoro, 1975.
14. Abi Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby Mesir, Al-Tsaqafah Al-Islamiyah.
15. Muhammad bin Umar Al-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kasysyaf, Mesir,’Isa Al-Halaby Wa Syurakauh.
16. Ismail Haqqy, Tafsir Ruh Al-Bayan Jld II, Beirut.
17. Muhammad Rasyid Ridha , Tafsir al-Manar , Beirut, Dar al-Ma’arif.
18. Rajab Al-Syitewy, Al-Khithabah Nazhariyan Wa ‘Ilmiyan, Cet I, Dar Al-Risalah Li Al-Turats. 1989.
19. Sayyid Muhammad Thanthawy, Adab Al-Hiwar Fi Al-Islam, Diterjemahkan oleh Zuhaeri dan Zamzami Kamal dengan Judul, Etika Debat dalam Islam Cet.I Jakarta : Azan, 2001. Iskandar, Peroblematika Dakwah dalam masyarakat Modern, Thesis, 2007.